Sore itu tepat hari Kamis di penghujung bulan April tahun 2015 diadakan kumpul silaturahmi KABAMMMA (Keluarga Besar Abiturient Madrasah Muallimin-Muallimaat) di rumah Ust Irud. Kebetulan sore itu pula Allah menurunkan rezekinya berupa hujan. Kami bertiga bersama yakni saya, Royyan (penulis kesempatan kedua), dan Wildan dengan bermodalkan motor dan jas hujan kami menembus derasnya hujan. Sesampainya di rumah Ust Irud ternyata kami sudah disambut oleh tuan rumah. Ternyata dua orang kawan lain kami telah hadir di lokasi. Padahal kami sangka kamilah yang pertama hadir di rumah Ust Irud. Kemudian kami pun langsung diarahkan Ust Irud untuk masuk ke dalam rumah menikmati hidangan yang telah disiapkan untuk para tamu. Begitu lama, kami di rumah beliau sambil membicarakan mengenai master plan mengenai pembangunan gedung UMP (Universitas Muhammadiyah Pontianak). Tidak sedikit pula kami membicarakan masalah mengenai almamater tercinta yakni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Waktu berjalan dengan begitu cepat tanpa terasa waktu maghrib pun telah tiba. Kebetulan dalam kesempatan ini saya sedang melakukan ibadah puasa Senin-Kamis. Jadi praktis ketika kita berbicara ngalor ngidul mengenai Mu’allimin saya belum bisa merasakan nikmatnya hidangan yang disajikan. Ketika adzan telah berkumandang alhamdulillah puji syukur Allah saya dapat berbuka. Setelah berbuka, saya dan teman-teman langsung diajak untuk menegakkan sholat berjamaah dengan Ust Irud. Setelah kami selesai wudhu, kami sholat di ruangan tengah rumah beliau.

Dengan spontan beliau langsung menunjuk saya untuk menjadi seorang imam. Menjadi imam kali ini tidak biasa saya lakukan karena yang dibelakan saya adalah seorang tokoh, figur publik. Berdebar-debar itu pasti, mulut ini serasa kelu untuk mengucap setiap ayat-ayat Allah, grogi menyerang.

Setelah sholat Maghrib berjamaah selesai, tanpa sadar pun dibelakang saya telah berdiri Ust Ikhwan Ahada (Direkur Mu’allimin 2006-2014). Wah, grogi ini semakin menjadi-jadi karena baru saja mengimami guru yang sangat saya hormati. Kemudian setelah itu Ust Irud berkata “Tadi, yang puasa sudah saya suruh menjadi imam sekarang Pak Direktur (baca: Ust. Ikhwan) monggo silahkan memberikan kultumnya!”. Dalam hati saya berujar, “mantap ini, sudah agak lama saya tidak mendengar Ust Ikhwan kultum”. Dalam kultum tersebut ust Ikhwan menjelaskan Surat Yunus ayat 110

Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”.

Sangat santun sekali bahasa yang beliau gunakan untuk menyampaikan.

Setelah beliau selesai berkultum. Kemudian Ust Irud berkomentar “Apa yang saya lakukan ini seperti apa yang dilakukan ketika saya bertamu ke rumah Pak AR. Jadi dahulu Pak AR selalu menyuruh siapa saja yang bersilaturahmi ke rumah beliau menjadi imam. Kiranya Pak AR melihat tamunya ini kok terlihat bagus dari segi keilmuan maka, beliau pun tak segan untuk menyuruh tamu untuk berbagi ilmu melalui sebuah kultum. Saya pun pernah mendapatkan hal tersebut ketika beliau masih hidup. Tanpa tangung-tanggung ketika sholat Maghrib saya langsung ditunjuk menjadi imam dan menyampaikan kultum. Bagaimana lagi saya mau menolak? Dengan rasa grogi saya pun maju jadi imam sekaligus memberikan kultum di depan Pak AR.”

Dari pernyataan beliau ini saya menilai bahwa kebiasaan baik dari seorang tokoh pasti akan ditiru oleh tokoh-tokoh di generasi setelahnya, seperti yang dilakukan Ust Irud. Ini adalah termasuk salah satu bentuk penghormatan terhadap tamu yang Ust Irud adopsi dari kebiasaan Pak AR. Apalagi melihat tamu yang hadir di rumah beliau kiranya tidak diragukan lagi ketika diminta untuk menjadi imam dan menyampaikan kultum bakda sholat.

Setelah Ust Irud berkomentar dan bercerita demikian ternyata Ust Ikhwan juga memiliki kenangan yang sama dengan Ust Irud.

Oleh: Rheza Firmansyah.

 

Penulis merupakan alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (2013) dan saat ini sedang menempuh program sarjana pada program Siyasah (politik Islam) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

 

sumber: http://anakpanahinstitute.org/kisah-keteladanan-kh-ar-fakhruddin/